BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial budaya, kondisi individu akan dapat langsung menimbulkan permasalahan pada diri individu. Perasaan yang terancam, kompetensi yang mentok, aspirasi yang terkungkung, semangat yang layu, dan kesempatan yang terbuang sia – sia akan menimbulkan permasalahan dalam berkehidupan sehari – sehari. Masing – masing permasalahan yang timbul itu merupakan gatra – gatra, baik besar maupun kecil, masing – masing gatra permasalahan itu dapat dikaitkan pada masidu, likuladu, dan pancadaya yang ada dan penuh diperoleh individu, serta terkait pada lirahid yang hidup dilingkungan individu tersebut.
Disamping itu perlu dipahami bahwa masing-masing gatra permasalahan itu saling berinteraksi dan dinamis. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa suatu permasalahan yang dialami individu bersifat kompleks dan among. Kekompleksan permasalahan itu lebih lagi diwarnai oleh dinamika dan saling berinteraksinya unsure pancadaya, likuladu, masidu, dan lirahid.
Kewaskitaan konselor selain mengacu kepada kelima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu, juga mengacu kepada lima proses dalam kegiatan konseling melalui pendekatan / teori dan teknik – tekniknya. Lima proses dalam kegiatan konseling tersebut antara lain pengantaraan (introduksi), penjajakan (investigasi), penafsiran (interpretasi), pembinaan (intervensi), penilaian (inspeksi), dan Penggunaan waktu dan intensitas (Volume). Itulah pancawaskita dimana kewaskitaan yang didalamnya terkandung lima faktor yang akan menjadi andalan bagi keberhasilan konselor.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas maka pada rumusan masalah ini akan membahas tentang:
1. Siapakah tokoh konseling pancawaskita?
2. Apa konsep dasar dari konseling pancawaskita?
3. Apa saja asumsi perilaku bermasalah dari konseling pancawaskita?
4. Apa tujuan dari konseling pancawaskita?
5. Bagaimana peran konselor dalam konseling pancawaskita?
6. Bagaimana deskripsi proses konseling pancawaskita?
7. Apa saja teknik-teknik dalam proses konseling pancawaskita?
8. Apa saja kelebihan dan keterbatasan konseling pancawaskita?
9. Bagaimana aplikasi dan penerapan nya?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis bertujuan untuk:
1. Mengetahui tentang pengertian Pancawaskita.
2. Memahami tentang hakekat kepribadian dari pancawaskita.
3. Mengetahui tentang pengertian Gatra.
4. Memahami tentang hakekat manusia dari pancawaskita.
5. Mamahami tentang tingkah laku dan kepribadian dari pancawakita itu.
6. Mengetahui dan memahami tentang ciri – ciri dari inti pengentasan masalah yang ada pada kemandirian individu.
7. Memahami tentang macam – macam proses kegiatan konseling.
8. Memahami tentang teknik – teknik proses kegiatan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh Utama
1. Tokoh Utama dalam Pancawaskita

Setamatnya sebagai sarjana jurusan BK (dahulu bimbingan dan penyuluhan) IKIP Bandung tahun 1965. Beliau menjadi dosen IKIP Bandung. Kemudian hijrah dan menjadi dosen IKIP Padang (sejak 1966) dan memegang sejumlah jabatan antara lain Ketua jurusan BK; Dekan FIP IKIP; Direktur sekolah Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP); Guru pembimbing Senior; Anggota Tim Nasional Bimbingan dan penyuluhan PPSP. Sementara itu beliau melanjutkan studi di Macquire University, Sydney (Australia) serta di Indiana University (Amerika Serikat) untuk memperoleh gelar master (1978) dan doktor (1980), keduanya dalam bidang BK.
Selanjutnya beliau mendirikan dan menjadi ketua Unit Pelayanan Bimbingan dan Konseling (UPBK) IKIP Padang (1986). Kemudian beliau menjabat lagi sebagai Dekan FIP IKIP Padang (1989 - 1996); penanggung jawab konsultan akademik penataran BK bagi guru – guru pembimbing SLTP/SLTA SELURUH Indonesia di PPPG Keguruan jakarta (1993 - sekarang); Ketua Tim Pengembang Nasional Student Support Service (3S) dan Carier Planning Development (CPD) untuk mahasiswa 30 LPTK Negeri seluruh Indonesia (1996- sekarang); ketua program BK pasca sarjana UNP (1995 - sekarang).
Dalam organisasi profesi BK, yaitu Ikatan petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) beliau pernah menjabat komisaris IPBI Daerah Sumatra bagian tengah dan selatan dan sebagai ketua umum pengurus besar (1991 – sekarang).
B. Konsep Dasar
Konseling Pancawaskita disingkat (KOPASTA). Konseling Pancawaskita merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam konseling dengan memadupadankan teori konseling (Eklektik). Kopasta menitik beratkan pada wawasan Pancawaskita. Pancawaskita mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi individu yaitu:
a. Pancasila.
b. Lirahid (lima ranah kehidupan)
c. Panca daya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya)
d. Masidu (lima kondisi yang ada pada diri individu) yang terdiri dari (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan)
e. Likuladu (lima kekuatan diluar individu) yang terdiri dari (gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial)
Dalam sejarahnya KOPASTA dikembangkan sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan konseling perorangan, para konselor diharapkan dapat menguasai pendekatan ini sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan konseling perorangan.
Konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu yaitu pancasila, pancadaya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya), lirahid/ lima ranah kehidupan ( Jasmanah-rohaniah, social-material, Spiritual dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di luar individu( gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial) , dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu( rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan). Pengaruh faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan secara cermat dan dilakukan pembinaan melalui konseling sehingga perkembangan dan kehidupan individu menjadi lebih membahagiakan. Kebahagan ini akan menjelma melalui kehidupan individu yang mandiri
Ditilik dari isinya konseling merupakan proses membangun pribadi yang mandiri. Sebelum seorang konselor membangun hal itu, terlebih dahulu ia perlu membangun pribadinya yang mandiri terlebih dahulu. Konselor yang mandiri itu akan mampu dari segi teknis dan psikologisnya menyelenggarakan konseling eklektik dengan wawasan pancawaskita. Waskita merupakan sifat yang terpancar dari kiat dan kinerja yang penuh dengan keunggulan semangat disertai dengan :
1. Kecerdasan, bahwa konseling adalah pekerjaan yang diselenggarakan atas dasar teori dan teknologi yang tinggi serta pertimbangan akal yang jernih, matang dan kreatif.
2. Kekuatan, bahwa konselor adalah pribadi yang tangguh baik dalam keluasan dan kedalaman wawasan berfikirnya, pengetahuan serta keterampilannya, maupun dalam kemauan dan ketekunannya dalam melayani kliennya.
3. Keterarahan, bahwa kegiatan konseling berorientasi kepada keberhasilan klien mengoptimalkan perkembangan dirinya dan mengatasi permasalahanya.
4. Ketelitian, bahwa konselor bekerja dengan cermat dan hati-hati serta berdasarkan data dalam memilih dan menerapkan teori dan teknologi konseling.
5. Kearif bijaksanaan, bahwa konselor dalam menyikapi dan bertindak didasarkan pada peninjauan dan pertimbangan yang matang, kelembutan dan kesantunan terhadap klien dan orang lain pada umumnya sesuai dengan nilai moral dan norma-norma yang berlaku serta kode etik konseling.
Itulah panca waskita , kewaskitaan yang didalamnya terkandung lima faktor yang akan menjadi andalan bagi keberhasilan seorang konselor.
1. Hakekat Keberadaan
Dunia dan alam semesta dipenuhi oleh serba keberadaan. Sebutlah sesuatu, maka sesuatu itu adalah sebuah keberadaan. Keberadaan terbentang dari yang paling kasat mata dan teraba (konkrit) sampai yang paling khayal dan termaya (abstrak) serta gaib; dari yang paling besar sampai yang paling kecil, dari yang paling sederhana sampai yang tak terhingga, dan dari yang ada sampai tidak ada.
Dalam kedinamisan keberadaan sepanjang zaman, dua jenis keberadaan amatlah penting, yaitu keberadaan yang sedang ada (KSA) dan keberadaan yang mungkin mengada (KMA). KSA terwujud dalam kesadaran seseorang, sedangkan KMA merupakan dunia kemungkinan. Jika KSA merupakan suatu titik yang sedang dijangkau oleh seseorang pada suatu saat, maka KMA merupakan daerah yang masih berada di luar jangkauannya, tetapi ada kemungkinan untuk dijangkaunya.
Sesuatu yang berasal dari KMA dapat menjelma menjadi KSA, dan KSA dapat surut ke daerah keberadaan yang pernah ada (KPA). Adalah sangat dimungkinkan KPA muncul kembali ke dalam KSA. Untuk itu KPA terlebih dahulu masuk ke daerah KMA.
Baik KSA maupun KMA mempunyai peluang dan keterbatasan. Didalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Mencipta kesadaran manusia tentang peluang dan keterbatasan KSA bersifat manusiawi yang ditentukan oleh unsur – unsur ruang dan waktu serta unsur – unsur kondisional. Sedangkan peluang dan keterbatasan KMA bersifat “abadi”. Peluang dan keterbatasan KMA berada diluar jangkauan dan kemampuan manusia; semuanya itu sepenuhnya berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Gatra
Keberadaan merupakan sesuatu yang penuh arti. Sesuatu yang penuh arti disebut gatra. Dalam dirinya sendiri gatra itu mengandung arti tertentu. Disamping itu, arti suatu gatra dapat pula diberikan dari luar, yaitu yang diberikan atau dibentuk oleh orang – orang yang berusaha menghayati dan / atau mendayagunakan gatra itu. Arti dari dalam (ADD) suatu gatra bersifat amung dan demikianlah adanya (unik dan objektif), sedangkan arti yang diberikan dari luar (ADL) bersifat lentur.
Meskipun ADD sudah ada dengan sendirinya di dalam gatra, namun ADD itu tidak selalu dengan sendirinya tampak atau menampilkan diri. Bahkan seringkali terjadi ADD justru tersembunyi dan menunggu pengungkapan itu memerlukan usaha dan amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kemauan orang yang bersangkutan. Berbeda dengan ADD yang bersifat menetap itu, ADL dapat “dibawa” ke mana saja oleh si pemberi arti, sehingga terkesan bahwa ADL bersifat seperti karet, direntang bisa panjang, disingkat bisa pendek; diangkat bisa tinggi, dibatasi bisa rendah; digali bisa dalam, ditimbun bisa dangkal; dibelok-belokkan ke mana pun bisa. Seperti pengungkapan ADD, ADL pun amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan dan kemauan orang yang member arti terhadap gatra yang dimaksudkan.
Sifat keberadaan gatra adalah seperti sifat – sifat keberadaan benda pada umumnya. Ada yang “padat”, artinya bentuk dan isinya lebih pasti dan tidak mudah diubah; ada yang “cair”, artinya bentuk dan isinya mudah berubah; ada pula yang ibarat “gas” artinya bentuk, isi, dan kepadatannya amat mudah berubah, mengembang dan menguap. Demikian juga “warna” gatra. Ia dapat berwarna tunggal ataupun berwarna – warni bagai pelangi, ataupun kabur, buram, atau tanpa warna sama sekali.
ADD dan ADL suatu gatra tidak selalu sama, melainkan justru seringkali tidak bersesuaian, bahkan bertentangan. Keserasian antara ADD dan ADL suatu gatra akan mewujudkan kesatuan, kebulatan dan kemantapan arti dari gatra yang dimaksudkan. Sebaliknya, jika keserasian antara ADD dan ADL timpang, atau bahkan bertentangan, maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya.
KSA (keberadaan yang sedang ada dalam sebuah gatra) yang ada pada diri klien dianalisis serta diberi suasana dan perlakuan – perlakuan khusus sehingga KMA (keberadaan yang mungkin ada dalam sebuah gatra) yang menguntungkan dan membahagiakan klien menjadi terwujud. Dengan penggatraan gatra dalam proses konseling itu klien dimungkinkan untuk berkembang menuju kemandiriannya.
3. Hakekat Manusia
Manusia adalah suatu keberadaan dalam alam semesta ini; sebuah gatra. Berbeda dari gatra – gatra lain yang bukan manusia, ADD dan ADL pada manusia dapat diberi ciri berikut:
1. ADD sangat bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya; individu dapat memahami ADD-nya sendiri.
2. Selain dapat memberikan ADL kepada gatra – gatra di luar dirinya, manusia pun dapat memberikan ADL kepada dirinya sendiri.
3. Antar sesama individu atau sekelompok manusia dapat saling memberikanADL.
4. ADD dan ADL terhadap diri sendiri serta ADL dari luar diri sendiri terus menerus berinteraksi yang menghasilkan perkembangan pada diri individu.
Ciri-ciri ADD dan ADL seperti itulah kiranya yang membedakan secara amat tajam antara manusia dan bukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Lebih dari makhluk – makhluk lainnya, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya. Ketertinggian derajat ini diperlengkapi dengan lima dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri setiap insan, yaitu:
1. Dimensi fitrah (dimfit).
2. Dimensi keindividualan (dimin).
3. Dimensi kesosialan (dimsos).
4. Dimesi kesusilaan (dimsus).
5. Dimensi keberagaman (dimag).
C. Asumsi perilaku bermasalah
Permasalahan yang dialami oleh seorang individu terwujud di dalam tingkah lakunya. Ukuran kebermasalahannya tingkah laku individu diadu kepada nilai-norma- dan moral yang berlaku pada kehidupan sosio-budaya di lingkungannya. Memperhatikan dimensi 5x5x5 diatas, maka dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan individu adalah kualitas pancadaya yang telah terkembangkan , likuladu, dan masidu, yaitu:
· Ketaqwaan yang terputus.
· Daya cipta yang lemah.
· Daya rasa yang tumpul.
· Daya karsa yang mandeg.
· Daya karya yang mandul.
· Gizi yang rendah.
· Pendidikan yang macet.
· Sikap dan perlakuan yang menolak dan kasar.
· Budaya yang terbelakang.
· Kondisi insidental yang merugikan.
· Rasa aman yang terancam.
· Kompetensi yang mentok.
· Aspirasi yang terkungkung.
· Semangat yang layu.
· Kesempatan yang terbuang.
Secara umum keadaan pancadaya, likuladu dan masidu yang tidak atauvkurang menguntungkan akan menimbulkan permaslahan pada diri individu.dari pad itu, pengaruh likuladu dan masidu bersifat lebih langsung daripada pancadaya dan lebih khusus lagi, pengaruh masidu lebih langsung daripada likuladu terhadap permasalahan individu.
D. Tujuan konseling pancawaskita
Menurut Prayitno (1988: 21) Konseling pancawaskita mempunyai tujuan yaitu terbangunnya gatra baru melalui pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri klien.
E. Peran konselor dalam koseling pancawaskita
Dalam konseling eklektik konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus penggarapan oleh penedekatan-pendekatan konseling yang berbeda.
Prayitno (1988: 32) menjelaskan masalah klien yang mengemukakan dalam konseling dapat menyangkut satu atau lebih fokus beberapa pendekatan. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkapkan fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya. Dengan teknik yang tepat, konselor menyelenggarakan intervensi untuk mendorong Masidu menjadi lebih positif. Lebih jauh, siswa diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.
Konselor dalam konseling pancawaskita mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri siswa yang menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling seperti motivasi belajar rendah, dalam Masidu adalah semangat yang layu dengan mengubah gatra lama menjadi gatra baru yaitu munculnya semangat dalam belajar yang tinggi. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkap fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya dengan teknik yang tepat serta mendorong Masidu menjadi lebih positif lebih jauh klien diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.
F. Deskripsi Proses Konseling Pancawaskita
Proses konseling setiap kali dipenuhi dengan berbagai gatra, khususnya berkenaan dengan aspek – aspek tingkah laku klien yang menjadi fokus penanganan konseling. Gatra yang berupa tindakan yang salah suai (tindakan yang menyimpang), pola pikir tidak rasional, perasaan berdosa, tidak naik kelas, keadaan ditinggal pacar, misalnya merupakan gatra – gatra yang perlu mendapat perhatian penuh dalam konseling. Demikian pula gatra – gatra yang lebih bersifat positif, seperti mendapat juara kelas, IQ 130, berparas cantik, tidak pernah sakit keras, rajin sholat.
Dalam menyikapi dan menangani gatra – gatra tersebut,
pertama – tama yang harus dilakukan oleh konselor adalah memandangnya sebagai sisi tertentu yang penuh arti dari diri klien, yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Kedua, ADD gatra tersebut perlu dikaji sehingga terungkap dan disadari oleh klien, serta selanjutnya kepadanya diberikan ADL yang tepat dan positif sehingga semuanya bermakna cukup kuat bagi pengembangan kemandirian klien.
Ketiga, terhadap KSA yang merupakan perwujudan gatra yang menjadi fokus konseling diberikan makna yang tepat dan positif dengan mengantisipasi KMA-nya.
Keempat, pemaknaan KSA dengan mengantisipasi KMA-nya itu secara langsung mengarah kepada penampilan KSA baru sebagai realisasi KMA positif yang terkandung didalam gatra yang dimaksud.
Kelima, dalam proses pengungkapan, analisis, pemaknaan dan pembinaan itu memungkinkan diterapkannya berbagai pendekatan dan teknik konseling.
Kelima langkah dalam konseling tersebut diatas merupakan proses penggatraan gatra melalui pendekatan konseling eklektik. Gatra – gatra (lama) yang semula muncul setelah diproses dalam konseling diubah atau dikembangkan menjadi gatra – gatra baru yang lebih menunjang kemandirian klien seperti:
Gatra Lama
|
Gatra Baru
|
· Tindakan salah suai
· Pola pikir tidak rasional
· Perasaan berdosa
· Tidak naik kelas
· Ditinggal pacar
· Juara kelas
· IQ 130
· Berparas cantik
· Tidak pernah sakit keras
· Rajin sholat
|
Tindakan yang lebih efektif dan efisien.
Pola pikir rasional.
Suasana bertobat.
Kemauan untuk belajar lebih keras, dikuasainya keterampilan belajar yang lebih efektif.
Sabar dan tawakal, lebih percaya diri.
Semangat bersaing secara sehat dalam belajar.
Lebih giat belajar.
Bersyukur kepada Tuhan YME, upaya meningkatkan femininitas lebih hati – hati menjaga diri.
Bersyukur dan lebih giat bekerja.
Lebih banyak berdo’a, bekerja dan beramal.
|
Paradigma penggatraan gatra itu menuntut keluasan wawasan, kedalaman dan ketajaman analisis gatra lama, serta ketepatan antisipasi dan pembinaan gatra baru. Sejalan dengan itu, pendekatan eklektik dalam proses konseling menuntut kedalaman dalam pemahaman berbagai teknik konseling dan penerapannya. Konselor sepenuhnya bertanggung jawab atas ke dua tuntutan tersebut. Tuntutan pertama menyangkut isi konseling, sedangkan tuntutan kedua berkenaan dengan metodologi konseling.
Konseling merupakan proses sinergik untuk mengoptimalkan energi pada diri klien dalam rangka pengembangan dan pemecahan masalah klien. Gatra – gatra yang ada pada saat memasuki dan menjalani konseling diproses menjadi gatra – gatra yang lebih positif kepada kualitas pancadaya dan likuladu.
Konseling yang lengkap meliputi lima proses yaitu:
b. Proses pengantaraan (introduction).
Proses pengantaraan ini mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan asas yang menyertainya. Proses pengantaraan ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, dan KTPS (”klien tidak pernah salah”), serta penstrukturan. Apabila proses awal ini sukses, klien akan mampu menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan.
c. Proses penjajagan (investigation).
Proses penjajagan ini dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki ruangan sumpek atau hutan belantara yang berisi gatra – gatra klien bersangkut – paut dengan perkembangan dan permasalahannya. Sasaran penjajagan adalah hal – hal yang dikemukakan klien dan hal – hal yang perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini adalah sebagai gatra yang selama ini terpendam, tersalahartikan dan / atau pun terhambat pengembangannya pada diri klien.
d. Proses penafsiran (interpretation).
Apa yang terungkap melalui penjajagan merupakan berbagai gatra yang perlu diartikan. Gatra-gatra klien itu (yang cukup signifikan) perlu diketahui ADD-nya secara tepat dan diberikan ADL-nya secara positif, dinamis dan tepat pula. Gatra yang besar diurai menjadi gatra yang lebih kecil, sebaliknya sejumlah gatra dirangkum menjadi gatra yang lebih luas; gatra yang satu dikaitkan dan di lihat relevansinya dengn gatra atau gatra-gatra lainnya. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek – aspek KSA dan KMA pada diri klien dengan jelas, tepat dan terjangkau segi – segi dinamikanya. Dalam rangka penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis dapat memberikan manfaat yang berarti.
e. Proses pembinaan (intervension)
Proses pembinaan ini secara langsung mengacu kepada pengentasan masalah dan pengembangan diri klien. Upaya pembinaan diarahkan bagi terwujudnya KMA yang telah dihasilkan melalui proses interpretasi. Arah dan sasaran jangka pendek dan langsung pembinaan adalah terkembangkannya masidu yang lebih memandirikan dan membahagiakan klien dan lingkungannya serta produktif. Dengan berbagai teknik khusus dalam konseling sasaran jangka pendek itu didorong pencapaiannya. Lebih jauh, sedapat – dapatnya proses konseling hendaknya juga mampu menyentuh likuladu yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan klien. Karena likuladu pada umumnya tidak dapat langsung terjangkau oleh proses konseling yang terwujud dalam pertemuan tatap muka antara klien dan konselor, maka pembinaan terhadap likuladu itu biasanya terlaksana melalui pendekatan ”politik”. Pembinaan terhadap masidu dan likuladu itu diharapkan juga meningkatkan pencadaya klien. Melalui pembinaan dalam konseling, gatra – gatra lama diproses menjadi gatra – gatra baru yang lebih memungkinkan berfungsinya energi pada diri klien secara optimal.
f. Proses penilaian / pengembangan (inspection)
Upaya pembinaan melalui konseling diharapkan menghasilkan hal – hal ataupun perubahan yang berguna bagi klien, khususnya berkenaan dengan masidu. Lebih konkrit lagi, hasil – hasil tersebut hendaknya berapa meningkat dan semakin efektifnya wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap bagi kehidupan klien dalam lingkungan lirahid. Kadar perubahan yang terjadi pada diri klien dapat diungkapkan atau dinilai segera menjelang akhirnya proses konseling, dalam jangka pendek beberapa hari kemudian, atau dalam jangka waktu yang lebih panjang. Ketika proses konseling akan segera diakhiri, misalnya konselor dapat menanyakan kepada klien beberapa hal yang merupakan buah dari proses yang baru saja berlangsung, yaitu pengetahuan, atau informasi baru apa yang diperoleh klien, bagaimana perasaan klien (apakah tambah ringan, relaks, terbebas dari himpitan yang memberatkan atau menyesakkan, dan sebagainya) serta kegiatan apa yang akan dilakukan klien untuk menindaklanjuti hasil – hasil konseling yang telah tercapai. Sedangkan, penilaian pasca konseling yang lebih jauh, baik dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun yang lebih panjang, mengacu kepada pemecahan masalah dan perkembangan klien secara lebih menyeluruh.
Setiap penilaian, baik diakhir proses konseling, jangka pendek maupun jangka panjang, perlu diikuti tindaklanjutnya demi keberhasilan klien yang lebih jauh. Tindak lanjut itu dapat mencegah perlu diadakannya konseling lanjutan, penerapan pendekatan dan teknik – teknik lain dalam proses konseling, ditampilkannya materi bahasan yang baru dan / atau lebih mendalam, dan nilai sebagainya, serta bila diperlukan tindak lanjut yang berupa alih tugas khusus.
Sasaran kelima proses itu adalah gatra – gatra yang ada pada diri individu (klien) berkenaan dengan tingkah lakunya yang bermasalah dengan segenap latar belakang dan sangkut pautnya.
G. Teknik-teknik dalam Konseling Pancawaskita
1. Teknik umum meliputi pokok – pokok:
· Penerimaan terhadap klien (manklien).
· Sikap dan jarak duduk (sjduk).
· Kontak mata (konmat).
· Tiga M (mendengar dengan baik, memahami secara tepat, serta merespon secara tepat dan positif) (Tiga M).
· Kontak psikologis (konpsik).
· Penstrukturan (struk).
· Ajakan untuk berbicara (ajbir).
· Pertanyaan terbuka (tabuk).
· Refleksi: isi dari perasaan (ref).
· Keruntutan (runtut).
· Penyimpulan (pul).
· Penafsiran (afsir).
· Konfrontasi (fron).
· Ajakan untuk memikirkan sesuatu yang lain (kirlan).
· Peneguhan hasrat (husrat).
· “penfrustasian” klien (frus).
· Strategi “tidak memanfaatkan” klien (tmaf).
· Suasana diam (sudim).
· Tranferensi dan kontra-tranferensi (trans dan konstran).
· Teknik eksperimental (eksper).
· Interpretasi pengalaman masa lampau (imaslam).
· Asosiasi bebas (asbas).
· Sentuhan jasmaniah (senjas).
· Penilaian (lai).
· Penyusunan laporan (lap).
2. Teknik khusus meliputi pokok – pokok:
· Pemberian informasi (inf).
· Pemberian contoh (con).
· Pemberian contoh pribadi (conpri).
· Perumusan tujuan (tuj).
· Latihan penenangan: sederhana dan penuh (tinang).
· Kesadaran tubuh (sadbuh).
· Disenstisisasi dan sensitisasi (desensit dan sensit).
· Kursi kosong (kurkos).
· Permainan peran dan permainan dialog (mairan dan mailog).
· Latihan keluguan (tilug).
· Latihan seksual (tisek).
· Latihan transaksional (sisran).
· Analisis gaya hidup (sisgahid).
· Kontrak (trak).
· Pemberian nasihat (nas).
Teknik – teknik tersebut dipilih dan ditetapkan sesuai dengan keunikan klien dengan masalah dan perkembangannya, sejak awal sampai diakhrinya proses konseling. Meskipun teknik – teknik tersebut pada umumnya dipergunakan dalam konseling perorangan namun banyak diantaranya yang cukup efektif bila dimanfaatkan dalam konseling kelompok.
Dalam konseling eklektik konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan – pendekatan konseling yang berbeda seperti:
a. Mengangkat materi ketidak sadaran yang menyebabkan tingkah laku salah suai ke kesadaran (konseling psikoanalitik klasik).
b. Memperkuat fungsi ego (konseling ego).
c. Mengatasi inferioritas menuju superioritas (konseling psikologi individual).
d. Mengembangkan transaksi yang sejajar, positif, dan produktif (konseling analisis transaksional).
e. Memperkuat dan mengembangkan self (konseling self).
f. Membangun integrasi kepribadian (konseling gestalt).
g. Mengubah tingkah laku salah suai (konseling behavioral).
h. Mengembangkan tingkah laku yang benar, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kenyataan (konseling realitas).
i. Mengganti belief irrational menjadi belief rational (konseling rasional – emotif).
H. Kelebihan dan Keterbatasan
Kelebihannya:
· Guru pembimbing atau konselor dapat memperoleh alternative pemecahan masalah siswa dengan penerapan konseling pancawaskita untuk menangani motivasi belajar rendah.
· Dapat digunakan sebagai masukan bagi siswa tentang pentingnya motivasi belajar.
· Konseling pancawaskita merupakan salah satu pendekatan yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu teori eksklusif tetapi merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil dan dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan atau disebut konseling elektrik dalam mengintegrasikan factor yang dipengaruhi individu.
Kelemahannya:
· Kurangnya pemahaman tentang konseling pancawaskita sehingga masih jarang digunakan dalam proses konseling dilapangan.
· Belum banyak yang mengembangkan konsep ini sehingga referensi terbatas
· Intrepretasi dari konseling Pancawaskita dalam dunia pendidikan kurang begitu diminati oleh sebagian besar para konselor karena terlalu rumit dalam pemahaman serta penerapnnya.
I. Aplikasi dan Penerapan Konseling Pancawasita
Gatra dengan Arti Dari Dalam (ADD) dan Arti Dari Luar (ADL) yang luar biasa. Individu merupakan sumber energi apabila dikembangkan sebesar-besarnya akan dapat bermanfaat bagi diri individu itu sendiri, individu lain dan lingkungannya. Mengembangkan kekuatan pada diri individu untuk mampu memerdekakan dari lingkungan yang menyesatkan itu. Ia harus mampu memproklamasikan kemerdekaan diri dari penjajahan kekuatan destruktif masidu, likuladu, dan masalah yang diidapnya.
Dengan demikian, konseling mendorong terjadinya pembebasan yang memungkinkan individu mengaktifkan potensi/energi yang ada pada dirnya. Setelah proklamasi terjadi, maka konseling membawa individu kearah pembangunan diri bagi kemandiriannya, dengan dimanfaatkan sebesar-besarnya potensi/energi, baik yang ada pada diri individu maupun diluarnya.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu yaitu pancasila, pancadaya (Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya), lirahid/ lima ranah kehidupan (Jasmanah-rohaniah, social-material, Spiritual dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di luar individu( gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial), dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan).
Teknik – teknik dalam kegiatan konseling yang digunakan adalah teknik secara umum dan secara khusus. Sedangkan proses dalam kegiatan konseling antara lain proses pengantaraan, proses penjajagan, proses penafsiran, proses pembinaan, dan proses penilaian. Tujuan pancawaskita yaitu terbangunnya gatra baru melalui pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri klien.
B. Kritik dan Saran
Dalam konsep konseling pancawaskita ini terlalu banyak teknik yang digunakan sehingga cenderung membingungkan. Selain itu belum adanya orang lain yang mengembangkan teori ini sehingga hanya terbatas referensinya yaitu pada Prof. Prayitno saja.
Saran kami Dalam proses pembuatan makalah ini diharapkan para guru pembimbing (konselor) mampu memahami tentang pendekatan konseling Pancawaskita sehingga mampu menjadi alternatif dalam konseling nantinya. Dalam hal ini, konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu, yaitu Pancasila, Pancadaya, Lirahid, Likuladu, dan Masidu.
Selain itu, konselor juga harus memahami tentang hakekat kepribadian dari pancawaskita, arti dari gatra, macam – macam proses dalam kegiatan konseling,asumsi perilaku dan teknik – teknik yang digunakan dalam kegiatan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : Universitas Negeri Padang.
">
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan sosial budaya, kondisi individu akan dapat langsung
menimbulkan permasalahan pada diri individu. Perasaan yang terancam, kompetensi
yang mentok, aspirasi yang terkungkung, semangat yang layu, dan kesempatan yang
terbuang sia – sia akan menimbulkan permasalahan dalam berkehidupan sehari – sehari.
Masing – masing permasalahan yang timbul itu merupakan gatra – gatra, baik
besar maupun kecil, masing – masing gatra permasalahan itu dapat dikaitkan pada
masidu, likuladu, dan pancadaya yang ada dan penuh diperoleh individu, serta
terkait pada lirahid yang hidup dilingkungan individu tersebut.
Disamping itu perlu dipahami bahwa masing-masing gatra permasalahan itu
saling berinteraksi dan dinamis. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa suatu
permasalahan yang dialami individu bersifat kompleks dan among. Kekompleksan
permasalahan itu lebih lagi diwarnai oleh dinamika dan saling berinteraksinya
unsure pancadaya, likuladu, masidu, dan
lirahid.
Kewaskitaan konselor selain mengacu kepada kelima faktor yang
mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu, juga mengacu kepada lima
proses dalam kegiatan konseling melalui pendekatan / teori dan teknik –
tekniknya. Lima proses dalam kegiatan konseling tersebut antara lain
pengantaraan (introduksi), penjajakan (investigasi), penafsiran (interpretasi),
pembinaan (intervensi), penilaian (inspeksi), dan Penggunaan waktu dan
intensitas (Volume). Itulah pancawaskita dimana kewaskitaan yang didalamnya
terkandung lima faktor yang akan menjadi andalan bagi keberhasilan konselor.
B. Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas maka pada rumusan masalah ini akan
membahas tentang:
1.
Siapakah tokoh konseling pancawaskita?
2.
Apa konsep dasar dari
konseling pancawaskita?
3.
Apa saja asumsi perilaku
bermasalah dari konseling pancawaskita?
4.
Apa tujuan dari konseling
pancawaskita?
5.
Bagaimana peran konselor
dalam konseling pancawaskita?
6.
Bagaimana
deskripsi proses konseling pancawaskita?
7.
Apa saja teknik-teknik dalam
proses konseling pancawaskita?
8.
Apa saja kelebihan dan
keterbatasan konseling pancawaskita?
9.
Bagaimana aplikasi dan penerapan
nya?
C. Tujuan
Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis bertujuan untuk:
1.
Mengetahui tentang
pengertian Pancawaskita.
2.
Memahami tentang hakekat
kepribadian dari pancawaskita.
3.
Mengetahui tentang
pengertian Gatra.
4.
Memahami tentang hakekat manusia
dari pancawaskita.
5.
Mamahami tentang tingkah
laku dan kepribadian dari pancawakita itu.
6.
Mengetahui
dan memahami tentang ciri – ciri dari inti pengentasan masalah yang ada pada
kemandirian individu.
7.
Memahami tentang macam –
macam proses kegiatan konseling.
8.
Memahami tentang teknik –
teknik proses kegiatan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh Utama
1. Tokoh Utama dalam Pancawaskita

Setamatnya sebagai sarjana jurusan BK (dahulu bimbingan dan penyuluhan)
IKIP Bandung tahun 1965. Beliau menjadi dosen IKIP Bandung. Kemudian hijrah dan
menjadi dosen IKIP Padang (sejak 1966) dan memegang sejumlah jabatan antara
lain Ketua jurusan BK; Dekan FIP IKIP; Direktur sekolah Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP); Guru pembimbing Senior; Anggota Tim Nasional Bimbingan dan
penyuluhan PPSP. Sementara itu beliau melanjutkan studi di Macquire University,
Sydney (Australia) serta di Indiana University (Amerika Serikat) untuk
memperoleh gelar master (1978) dan doktor (1980), keduanya dalam bidang BK.
Selanjutnya beliau mendirikan dan menjadi ketua Unit Pelayanan Bimbingan
dan Konseling (UPBK) IKIP Padang (1986). Kemudian beliau menjabat lagi sebagai
Dekan FIP IKIP Padang (1989 - 1996); penanggung jawab konsultan akademik
penataran BK bagi guru – guru pembimbing SLTP/SLTA SELURUH Indonesia di PPPG
Keguruan jakarta (1993 - sekarang); Ketua Tim Pengembang Nasional Student
Support Service (3S) dan Carier Planning Development (CPD) untuk mahasiswa 30
LPTK Negeri seluruh Indonesia (1996- sekarang); ketua program BK pasca sarjana
UNP (1995 - sekarang).
Dalam organisasi profesi BK, yaitu Ikatan petugas Bimbingan Indonesia
(IPBI) beliau pernah menjabat komisaris IPBI Daerah Sumatra bagian tengah dan
selatan dan sebagai ketua umum pengurus besar (1991 – sekarang).
B. Konsep Dasar
Konseling Pancawaskita disingkat (KOPASTA). Konseling
Pancawaskita merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam konseling dengan memadupadankan teori konseling
(Eklektik). Kopasta menitik beratkan pada wawasan Pancawaskita. Pancawaskita
mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi individu yaitu:
a.
Pancasila.
b.
Lirahid (lima ranah kehidupan)
c.
Panca daya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya)
d.
Masidu (lima kondisi yang ada pada diri individu) yang
terdiri dari (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan)
e.
Likuladu (lima kekuatan diluar individu) yang terdiri
dari (gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi
insidensial)
Dalam
sejarahnya KOPASTA dikembangkan sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan
dalam pelaksanaan konseling perorangan, para konselor diharapkan dapat
menguasai pendekatan ini sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan
dalam penyelenggaraan konseling perorangan.
Konselor
profesional dituntut mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu
yaitu pancasila, pancadaya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya), lirahid/
lima ranah kehidupan ( Jasmanah-rohaniah, social-material, Spiritual
dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di luar individu(
gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial)
, dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu( rasa aman, kompetensi,
aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan). Pengaruh faktor-faktor tersebut
perlu diperhatikan secara cermat dan dilakukan pembinaan melalui konseling
sehingga perkembangan dan kehidupan individu menjadi lebih membahagiakan.
Kebahagan ini akan menjelma melalui kehidupan individu yang mandiri
Ditilik
dari isinya konseling merupakan proses membangun pribadi yang mandiri. Sebelum
seorang konselor membangun hal itu, terlebih dahulu ia perlu membangun
pribadinya yang mandiri terlebih dahulu. Konselor yang mandiri itu akan
mampu dari segi teknis dan psikologisnya menyelenggarakan konseling
eklektik dengan wawasan pancawaskita. Waskita merupakan sifat yang terpancar
dari kiat dan kinerja yang penuh dengan keunggulan semangat disertai dengan :
1.
Kecerdasan, bahwa konseling adalah pekerjaan yang diselenggarakan
atas dasar teori dan teknologi yang tinggi serta pertimbangan akal yang jernih, matang dan
kreatif.
2.
Kekuatan, bahwa konselor adalah pribadi yang tangguh baik dalam
keluasan dan kedalaman wawasan berfikirnya, pengetahuan serta keterampilannya, maupun dalam kemauan dan
ketekunannya dalam
melayani kliennya.
3.
Keterarahan, bahwa kegiatan konseling berorientasi kepada
keberhasilan klien mengoptimalkan perkembangan dirinya dan mengatasi
permasalahanya.
4.
Ketelitian, bahwa konselor bekerja dengan cermat dan hati-hati
serta berdasarkan data dalam memilih dan menerapkan teori dan teknologi
konseling.
5.
Kearif bijaksanaan, bahwa konselor dalam
menyikapi dan bertindak didasarkan pada peninjauan dan pertimbangan yang
matang, kelembutan dan kesantunan terhadap klien dan orang lain pada umumnya
sesuai dengan nilai moral dan norma-norma yang berlaku serta kode etik
konseling.
Itulah panca waskita , kewaskitaan yang
didalamnya terkandung lima faktor yang akan menjadi andalan bagi
keberhasilan seorang konselor.
1.
Hakekat Keberadaan
Dunia dan alam semesta dipenuhi oleh
serba keberadaan. Sebutlah sesuatu, maka sesuatu itu adalah sebuah keberadaan.
Keberadaan terbentang dari yang paling kasat mata dan teraba (konkrit) sampai
yang paling khayal dan termaya (abstrak) serta gaib; dari yang paling besar
sampai yang paling kecil, dari yang paling sederhana sampai yang tak terhingga,
dan dari yang ada sampai tidak ada.
Dalam kedinamisan keberadaan
sepanjang zaman, dua jenis keberadaan amatlah penting, yaitu keberadaan yang
sedang ada (KSA) dan keberadaan yang mungkin mengada (KMA). KSA terwujud dalam
kesadaran seseorang, sedangkan KMA merupakan dunia kemungkinan. Jika KSA
merupakan suatu titik yang sedang dijangkau oleh seseorang pada suatu saat,
maka KMA merupakan daerah yang masih berada di luar jangkauannya, tetapi ada
kemungkinan untuk dijangkaunya.
Sesuatu yang berasal dari KMA dapat
menjelma menjadi KSA, dan KSA dapat surut ke daerah keberadaan yang pernah ada
(KPA). Adalah sangat dimungkinkan KPA muncul kembali ke dalam KSA. Untuk itu
KPA terlebih dahulu masuk ke daerah KMA.
Baik KSA maupun KMA mempunyai
peluang dan keterbatasan. Didalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Mencipta kesadaran
manusia tentang peluang dan keterbatasan KSA bersifat manusiawi yang ditentukan
oleh unsur – unsur ruang dan waktu serta unsur – unsur kondisional. Sedangkan
peluang dan keterbatasan KMA bersifat “abadi”. Peluang dan keterbatasan KMA
berada diluar jangkauan dan kemampuan manusia; semuanya itu sepenuhnya berada
di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2.
Gatra
Keberadaan
merupakan sesuatu yang penuh arti. Sesuatu yang penuh arti disebut gatra. Dalam
dirinya sendiri gatra itu mengandung arti tertentu. Disamping itu, arti suatu
gatra dapat pula diberikan dari luar, yaitu yang diberikan atau dibentuk oleh
orang – orang yang berusaha menghayati dan / atau mendayagunakan gatra itu.
Arti dari dalam (ADD) suatu gatra
bersifat amung dan demikianlah adanya (unik dan objektif), sedangkan arti yang
diberikan dari luar (ADL) bersifat lentur.
Meskipun
ADD sudah ada dengan sendirinya di dalam gatra, namun ADD itu tidak selalu
dengan sendirinya tampak atau menampilkan diri. Bahkan seringkali terjadi ADD
justru tersembunyi dan menunggu pengungkapan itu memerlukan usaha dan amat
tergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kemauan orang yang bersangkutan.
Berbeda dengan ADD yang bersifat menetap itu, ADL dapat “dibawa” ke mana saja
oleh si pemberi arti, sehingga terkesan bahwa ADL bersifat seperti karet,
direntang bisa panjang, disingkat bisa pendek; diangkat bisa tinggi, dibatasi
bisa rendah; digali bisa dalam, ditimbun bisa dangkal; dibelok-belokkan ke mana
pun bisa. Seperti pengungkapan ADD, ADL pun amat tergantung pada pengetahuan,
kemampuan dan kemauan orang yang member arti terhadap gatra yang dimaksudkan.
Sifat
keberadaan gatra adalah seperti sifat – sifat keberadaan benda pada umumnya.
Ada yang “padat”, artinya bentuk dan isinya lebih pasti dan tidak mudah diubah;
ada yang “cair”, artinya bentuk dan isinya mudah berubah; ada pula yang ibarat
“gas” artinya bentuk, isi, dan kepadatannya amat mudah berubah, mengembang dan
menguap. Demikian juga “warna” gatra. Ia dapat berwarna tunggal ataupun
berwarna – warni bagai pelangi, ataupun kabur, buram, atau tanpa warna sama
sekali.
ADD
dan ADL suatu gatra tidak selalu sama, melainkan justru seringkali tidak
bersesuaian, bahkan bertentangan. Keserasian antara ADD dan ADL suatu gatra
akan mewujudkan kesatuan, kebulatan dan kemantapan arti dari gatra yang
dimaksudkan. Sebaliknya, jika keserasian antara ADD dan ADL timpang, atau
bahkan bertentangan, maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya.
KSA
(keberadaan yang sedang ada dalam sebuah gatra) yang ada pada diri klien
dianalisis serta diberi suasana dan perlakuan – perlakuan khusus sehingga KMA
(keberadaan yang mungkin ada dalam sebuah gatra) yang menguntungkan dan
membahagiakan klien menjadi terwujud. Dengan penggatraan gatra dalam proses
konseling itu klien dimungkinkan untuk berkembang menuju kemandiriannya.
3. Hakekat
Manusia
Manusia adalah suatu keberadaan dalam alam semesta ini; sebuah
gatra. Berbeda dari gatra – gatra lain yang bukan manusia, ADD dan ADL pada
manusia dapat diberi ciri berikut:
1.
ADD
sangat bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya; individu
dapat memahami ADD-nya sendiri.
2.
Selain
dapat memberikan ADL kepada gatra – gatra di luar dirinya, manusia pun dapat
memberikan ADL kepada dirinya sendiri.
3.
Antar
sesama individu atau sekelompok manusia dapat saling memberikanADL.
4.
ADD
dan ADL terhadap diri sendiri serta ADL dari luar diri sendiri terus menerus
berinteraksi yang menghasilkan perkembangan pada diri individu.
Ciri-ciri ADD dan
ADL seperti itulah kiranya yang membedakan secara amat tajam antara
manusia dan bukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Lebih dari makhluk – makhluk lainnya, manusia adalah makhluk yang
tertinggi derajatnya. Ketertinggian derajat ini diperlengkapi dengan lima
dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri setiap insan, yaitu:
1.
Dimensi
fitrah (dimfit).
2.
Dimensi
keindividualan (dimin).
3.
Dimensi
kesosialan (dimsos).
4.
Dimesi
kesusilaan (dimsus).
5.
Dimensi
keberagaman (dimag).
C.
Asumsi perilaku bermasalah
Permasalahan yang dialami oleh seorang individu terwujud di dalam tingkah lakunya.
Ukuran kebermasalahannya tingkah laku individu diadu kepada nilai-norma- dan
moral yang berlaku pada kehidupan sosio-budaya di lingkungannya. Memperhatikan
dimensi 5x5x5 diatas, maka dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan
individu adalah kualitas pancadaya yang telah terkembangkan , likuladu, dan
masidu, yaitu:
·
Ketaqwaan
yang terputus.
·
Daya cipta
yang lemah.
·
Daya rasa
yang tumpul.
·
Daya karsa
yang mandeg.
·
Daya karya
yang mandul.
·
Gizi
yang rendah.
·
Pendidikan
yang macet.
·
Sikap
dan perlakuan yang menolak dan kasar.
·
Budaya
yang terbelakang.
·
Kondisi
insidental yang merugikan.
·
Rasa
aman
yang terancam.
·
Kompetensi
yang mentok.
·
Aspirasi
yang terkungkung.
·
Semangat
yang layu.
·
Kesempatan
yang terbuang.
Secara umum
keadaan pancadaya, likuladu dan masidu yang
tidak atauvkurang
menguntungkan akan menimbulkan permaslahan pada diri individu.dari pad itu,
pengaruh likuladu dan masidu bersifat lebih langsung daripada pancadaya dan
lebih khusus lagi, pengaruh
masidu lebih langsung daripada likuladu terhadap permasalahan individu.
D.
Tujuan
konseling pancawaskita
Menurut Prayitno (1988: 21) Konseling pancawaskita
mempunyai tujuan yaitu terbangunnya gatra baru melalui pengungkapan, analisis,
pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari
Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang
Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA)
positif yang ada pada diri klien.
E.
Peran
konselor dalam koseling pancawaskita
Dalam konseling eklektik konselor mengarahkan
usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus penggarapan
oleh penedekatan-pendekatan konseling yang berbeda.
Prayitno (1988: 32) menjelaskan masalah klien
yang mengemukakan dalam konseling dapat
menyangkut satu atau lebih fokus beberapa pendekatan. Dalam proses investigasi
dan interpretasi konselor dapat mengungkapkan fokus tersebut dengan sangkut
paut Masidunya. Dengan teknik yang tepat, konselor menyelenggarakan intervensi
untuk mendorong Masidu menjadi lebih
positif. Lebih jauh, siswa diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.
Konselor
dalam konseling pancawaskita mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada
diri siswa yang menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling
seperti motivasi belajar rendah, dalam Masidu adalah semangat yang layu
dengan mengubah gatra lama menjadi gatra baru yaitu munculnya semangat
dalam belajar yang tinggi. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor
dapat mengungkap fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya dengan teknik
yang tepat serta mendorong Masidu menjadi
lebih positif lebih jauh klien diharapkan dapat memerdekakan dan membangun
dirinya.
F.
Deskripsi Proses Konseling Pancawaskita
Proses konseling setiap kali dipenuhi dengan
berbagai gatra, khususnya berkenaan dengan aspek – aspek tingkah laku klien
yang menjadi fokus penanganan konseling. Gatra yang berupa tindakan yang salah
suai (tindakan yang menyimpang), pola pikir tidak rasional, perasaan berdosa,
tidak naik kelas, keadaan ditinggal pacar, misalnya merupakan gatra – gatra
yang perlu mendapat perhatian penuh
dalam konseling. Demikian pula gatra – gatra yang lebih bersifat positif,
seperti mendapat juara kelas, IQ 130, berparas cantik, tidak pernah sakit
keras, rajin sholat.
Dalam
menyikapi dan menangani gatra – gatra tersebut,
pertama – tama
yang harus dilakukan oleh konselor adalah memandangnya sebagai sisi tertentu
yang penuh arti dari diri klien, yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Kedua,
ADD gatra tersebut perlu dikaji sehingga terungkap dan disadari oleh klien,
serta selanjutnya kepadanya diberikan ADL yang tepat dan positif sehingga
semuanya bermakna cukup kuat bagi pengembangan kemandirian klien.
Ketiga,
terhadap KSA yang merupakan perwujudan gatra yang menjadi fokus konseling
diberikan makna yang tepat dan positif dengan mengantisipasi KMA-nya.
Keempat,
pemaknaan KSA dengan mengantisipasi KMA-nya itu secara langsung mengarah kepada
penampilan KSA baru sebagai realisasi KMA positif yang terkandung didalam gatra
yang dimaksud.
Kelima,
dalam proses pengungkapan, analisis, pemaknaan dan pembinaan itu memungkinkan
diterapkannya berbagai pendekatan dan teknik konseling.
Kelima langkah dalam konseling tersebut diatas merupakan
proses penggatraan gatra melalui pendekatan konseling eklektik. Gatra – gatra
(lama) yang semula muncul setelah diproses dalam konseling diubah atau
dikembangkan menjadi gatra – gatra baru yang lebih menunjang kemandirian klien
seperti:
Gatra Lama
|
Gatra Baru
|
·
Tindakan salah suai
·
Pola pikir tidak rasional
·
Perasaan berdosa
·
Tidak naik kelas
·
Ditinggal pacar
·
Juara kelas
·
IQ 130
·
Berparas cantik
·
Tidak pernah sakit keras
·
Rajin sholat
|
Tindakan
yang lebih efektif dan efisien.
Pola pikir
rasional.
Suasana
bertobat.
Kemauan
untuk belajar lebih keras, dikuasainya keterampilan belajar yang lebih
efektif.
Sabar dan
tawakal, lebih percaya diri.
Semangat
bersaing secara sehat dalam belajar.
Lebih giat
belajar.
Bersyukur
kepada Tuhan YME, upaya meningkatkan femininitas lebih hati – hati menjaga
diri.
Bersyukur
dan lebih giat bekerja.
Lebih banyak
berdo’a, bekerja dan beramal.
|
Paradigma
penggatraan gatra itu menuntut keluasan wawasan, kedalaman dan ketajaman
analisis gatra lama, serta ketepatan antisipasi dan pembinaan gatra baru.
Sejalan dengan itu, pendekatan eklektik dalam proses konseling menuntut
kedalaman dalam pemahaman berbagai teknik konseling dan penerapannya. Konselor
sepenuhnya bertanggung jawab atas ke dua tuntutan tersebut. Tuntutan pertama menyangkut
isi konseling, sedangkan tuntutan kedua berkenaan dengan metodologi konseling.
Konseling merupakan proses sinergik untuk mengoptimalkan energi
pada diri klien dalam rangka pengembangan dan pemecahan masalah klien. Gatra –
gatra yang ada pada saat memasuki dan menjalani konseling diproses menjadi
gatra – gatra yang lebih positif kepada kualitas pancadaya dan likuladu.
Konseling yang lengkap meliputi lima proses yaitu:
b.
Proses
pengantaraan (introduction).
Proses
pengantaraan ini mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap
pengertian, tujuan, dan asas yang menyertainya. Proses pengantaraan ini
ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, dan KTPS
(”klien tidak pernah salah”), serta penstrukturan. Apabila proses awal ini
sukses, klien akan mampu menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil
yang lebih menjanjikan.
c.
Proses
penjajagan (investigation).
Proses
penjajagan ini dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki ruangan sumpek
atau hutan belantara yang berisi gatra – gatra klien bersangkut – paut dengan
perkembangan dan permasalahannya. Sasaran penjajagan adalah hal – hal yang
dikemukakan klien dan hal – hal yang perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh
sasaran penjajagan ini adalah sebagai gatra yang selama ini terpendam,
tersalahartikan dan / atau pun terhambat pengembangannya pada diri klien.
d.
Proses
penafsiran (interpretation).
Apa yang terungkap
melalui penjajagan merupakan berbagai gatra yang perlu diartikan. Gatra-gatra
klien itu (yang cukup signifikan) perlu diketahui ADD-nya secara tepat dan
diberikan ADL-nya secara positif, dinamis dan tepat pula. Gatra yang besar
diurai menjadi gatra yang lebih kecil, sebaliknya sejumlah gatra dirangkum
menjadi gatra yang lebih luas; gatra yang satu dikaitkan dan di lihat
relevansinya dengn gatra atau gatra-gatra lainnya. Hasil proses penafsiran ini
pada umumnya adalah aspek – aspek KSA dan KMA pada diri klien dengan jelas,
tepat dan terjangkau segi – segi dinamikanya. Dalam rangka penafsiran ini,
upaya diagnosis dan prognosis dapat memberikan manfaat yang berarti.
e.
Proses
pembinaan (intervension)
Proses
pembinaan ini secara langsung mengacu kepada pengentasan masalah dan
pengembangan diri klien. Upaya pembinaan diarahkan bagi terwujudnya KMA yang
telah dihasilkan melalui proses interpretasi. Arah dan sasaran jangka pendek
dan langsung pembinaan adalah terkembangkannya masidu yang lebih memandirikan
dan membahagiakan klien dan lingkungannya serta produktif. Dengan berbagai
teknik khusus dalam konseling sasaran jangka pendek itu didorong pencapaiannya.
Lebih jauh, sedapat – dapatnya proses konseling hendaknya juga mampu menyentuh
likuladu yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan klien. Karena likuladu pada
umumnya tidak dapat langsung terjangkau oleh proses konseling yang terwujud
dalam pertemuan tatap muka antara klien dan konselor, maka pembinaan terhadap
likuladu itu biasanya terlaksana melalui pendekatan ”politik”. Pembinaan
terhadap masidu dan likuladu itu diharapkan juga meningkatkan pencadaya klien.
Melalui pembinaan dalam konseling, gatra – gatra lama diproses menjadi gatra –
gatra baru yang lebih memungkinkan berfungsinya energi pada diri klien secara
optimal.
f.
Proses
penilaian / pengembangan (inspection)
Upaya pembinaan
melalui konseling diharapkan menghasilkan hal – hal ataupun perubahan yang
berguna bagi klien, khususnya berkenaan dengan masidu. Lebih konkrit lagi,
hasil – hasil tersebut hendaknya berapa meningkat dan semakin efektifnya
wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap bagi kehidupan klien dalam
lingkungan lirahid. Kadar perubahan yang terjadi pada diri klien dapat
diungkapkan atau dinilai segera menjelang akhirnya proses konseling, dalam
jangka pendek beberapa hari kemudian, atau dalam jangka waktu yang lebih
panjang. Ketika proses konseling akan segera diakhiri, misalnya konselor dapat
menanyakan kepada klien beberapa hal yang merupakan buah dari proses yang baru
saja berlangsung, yaitu pengetahuan, atau informasi baru apa yang diperoleh
klien, bagaimana perasaan klien (apakah tambah ringan, relaks, terbebas dari
himpitan yang memberatkan atau menyesakkan, dan sebagainya) serta kegiatan apa
yang akan dilakukan klien untuk menindaklanjuti hasil – hasil konseling yang
telah tercapai. Sedangkan, penilaian pasca konseling yang lebih jauh, baik
dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun yang lebih panjang, mengacu kepada
pemecahan masalah dan perkembangan klien secara lebih menyeluruh.
Setiap
penilaian, baik diakhir proses konseling, jangka pendek maupun jangka panjang,
perlu diikuti tindaklanjutnya demi keberhasilan klien yang lebih jauh. Tindak
lanjut itu dapat mencegah perlu diadakannya konseling lanjutan, penerapan
pendekatan dan teknik – teknik lain dalam proses konseling, ditampilkannya
materi bahasan yang baru dan / atau lebih mendalam, dan nilai sebagainya, serta
bila diperlukan tindak lanjut yang berupa alih tugas khusus.
Sasaran kelima
proses itu adalah gatra – gatra yang ada pada diri individu (klien) berkenaan
dengan tingkah lakunya yang bermasalah dengan segenap latar belakang dan
sangkut pautnya.
G.
Teknik-teknik
dalam Konseling
Pancawaskita
1. Teknik umum meliputi pokok – pokok:
·
Penerimaan
terhadap klien (manklien).
·
Sikap
dan jarak duduk (sjduk).
·
Kontak
mata (konmat).
·
Tiga
M (mendengar dengan baik, memahami secara tepat, serta merespon secara tepat
dan positif) (Tiga M).
·
Kontak
psikologis (konpsik).
·
Penstrukturan
(struk).
·
Ajakan
untuk berbicara (ajbir).
·
Pertanyaan
terbuka (tabuk).
·
Refleksi:
isi dari perasaan (ref).
·
Keruntutan
(runtut).
·
Penyimpulan
(pul).
·
Penafsiran
(afsir).
·
Konfrontasi
(fron).
·
Ajakan
untuk memikirkan sesuatu yang lain (kirlan).
·
Peneguhan
hasrat (husrat).
·
“penfrustasian”
klien (frus).
·
Strategi
“tidak memanfaatkan” klien (tmaf).
·
Suasana
diam (sudim).
·
Tranferensi
dan kontra-tranferensi (trans dan
konstran).
·
Teknik
eksperimental (eksper).
·
Interpretasi
pengalaman masa lampau (imaslam).
·
Asosiasi
bebas (asbas).
·
Sentuhan
jasmaniah (senjas).
·
Penilaian
(lai).
·
Penyusunan
laporan (lap).
2. Teknik khusus meliputi pokok –
pokok:
·
Pemberian
informasi (inf).
·
Pemberian
contoh (con).
·
Pemberian
contoh pribadi (conpri).
·
Perumusan
tujuan (tuj).
·
Latihan
penenangan: sederhana dan penuh (tinang).
·
Kesadaran
tubuh (sadbuh).
·
Disenstisisasi
dan sensitisasi (desensit dan sensit).
·
Kursi
kosong (kurkos).
·
Permainan
peran dan permainan dialog (mairan dan
mailog).
·
Latihan
keluguan (tilug).
·
Latihan
seksual (tisek).
·
Latihan
transaksional (sisran).
·
Analisis
gaya hidup (sisgahid).
·
Kontrak
(trak).
·
Pemberian
nasihat (nas).
Teknik – teknik
tersebut dipilih dan ditetapkan sesuai dengan keunikan klien dengan masalah dan
perkembangannya, sejak awal sampai diakhrinya proses konseling. Meskipun teknik
– teknik tersebut pada umumnya dipergunakan dalam konseling perorangan namun
banyak diantaranya yang cukup efektif bila dimanfaatkan dalam konseling
kelompok.
Dalam konseling eklektik konselor
mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus
penggarapan oleh pendekatan – pendekatan konseling yang berbeda seperti:
a. Mengangkat
materi ketidak sadaran yang menyebabkan tingkah laku salah suai ke kesadaran (konseling psikoanalitik klasik).
b. Memperkuat
fungsi ego (konseling ego).
c. Mengatasi
inferioritas menuju superioritas (konseling
psikologi individual).
d.
Mengembangkan transaksi yang
sejajar, positif, dan produktif (konseling
analisis transaksional).
e. Memperkuat
dan mengembangkan self (konseling self).
f. Membangun
integrasi kepribadian (konseling
gestalt).
g. Mengubah
tingkah laku salah suai (konseling
behavioral).
h. Mengembangkan
tingkah laku yang benar, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kenyataan (konseling realitas).
i.
Mengganti belief irrational menjadi
belief rational (konseling rasional –
emotif).
H.
Kelebihan
dan Keterbatasan
Kelebihannya:
·
Guru pembimbing atau konselor dapat
memperoleh alternative pemecahan masalah siswa dengan penerapan konseling
pancawaskita untuk menangani motivasi belajar rendah.
·
Dapat digunakan sebagai masukan bagi
siswa tentang pentingnya motivasi belajar.
·
Konseling pancawaskita merupakan salah
satu pendekatan yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi
pada satu teori eksklusif tetapi merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang
diambil dan dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan atau disebut
konseling elektrik dalam mengintegrasikan factor yang dipengaruhi individu.
Kelemahannya:
·
Kurangnya pemahaman tentang konseling
pancawaskita sehingga masih jarang digunakan
dalam proses konseling dilapangan.
·
Belum
banyak yang mengembangkan konsep ini
sehingga referensi terbatas
·
Intrepretasi dari konseling Pancawaskita
dalam dunia pendidikan kurang begitu diminati oleh sebagian besar para konselor
karena terlalu rumit dalam pemahaman serta penerapnnya.
I.
Aplikasi
dan Penerapan
Konseling
Pancawasita
Gatra dengan Arti Dari Dalam (ADD) dan Arti Dari Luar
(ADL) yang luar biasa. Individu merupakan sumber energi apabila dikembangkan
sebesar-besarnya akan dapat bermanfaat bagi diri individu itu sendiri, individu
lain dan lingkungannya. Mengembangkan kekuatan pada diri individu untuk mampu
memerdekakan dari lingkungan yang menyesatkan itu. Ia harus mampu
memproklamasikan kemerdekaan diri dari penjajahan kekuatan destruktif masidu,
likuladu, dan masalah yang diidapnya.
Dengan demikian, konseling mendorong terjadinya
pembebasan yang memungkinkan individu mengaktifkan potensi/energi yang ada pada
dirnya. Setelah proklamasi terjadi, maka konseling membawa individu kearah
pembangunan diri bagi kemandiriannya, dengan dimanfaatkan sebesar-besarnya
potensi/energi, baik yang ada pada diri individu maupun diluarnya.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima
faktor yang mempengaruhi perkembangan
dan kehidupan individu yaitu pancasila, pancadaya (Takwa, Cipta, Rasa, Karsa,
Karya), lirahid/ lima ranah kehidupan (Jasmanah-rohaniah,
social-material, Spiritual dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/
lima kekuatan di luar individu( gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain,
budaya dan kondisi insidensial), dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri
individu (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan).
Teknik
– teknik dalam kegiatan konseling yang digunakan adalah teknik secara umum dan
secara khusus. Sedangkan proses dalam kegiatan konseling antara lain proses
pengantaraan, proses penjajagan, proses penafsiran, proses pembinaan, dan
proses penilaian. Tujuan
pancawaskita yaitu terbangunnya
gatra baru melalui pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif
terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang
Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan
Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri klien.
B.
Kritik dan Saran
Dalam konsep konseling pancawaskita ini terlalu banyak
teknik yang digunakan sehingga cenderung membingungkan. Selain itu belum adanya
orang lain yang mengembangkan teori ini sehingga hanya terbatas referensinya
yaitu pada Prof. Prayitno saja.
Saran kami Dalam
proses pembuatan makalah ini diharapkan para guru pembimbing (konselor) mampu
memahami tentang pendekatan konseling Pancawaskita sehingga mampu menjadi alternatif dalam konseling
nantinya.
Dalam hal ini, konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima faktor yang
mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu, yaitu Pancasila, Pancadaya,
Lirahid, Likuladu, dan Masidu.
Selain
itu, konselor juga harus memahami tentang hakekat kepribadian dari
pancawaskita, arti dari gatra, macam – macam proses dalam kegiatan konseling,asumsi
perilaku dan teknik – teknik yang digunakan dalam kegiatan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno. 2005. Konseling
Pancawaskita. Padang : Universitas Negeri Padang.
wah..thanks gan sangat membantu sekali buat ane...
BalasHapusoke gan same-same....
BalasHapusMakash ats ulasan dari bacaan ini.🙏
BalasHapus